Judul Buku : Hidup Sederhana
Penulis : Desi Anwar
Buku ini memberikan pelajaran bahwa kita ‘Sebagai manusia, kita pandai membuat hidup menjadi rumit’. Iya, benar sekali ! Saya ingin lompat ketika membacanya. Menohok, sekali rasanya.
Setiap bagian dari buku ini bersifat mengingatkan bahwa kita butuh berpijak, menarik nafas, duduk di kafe di pinggir jalan, lalu menjadi pengamat. Belajar. Bersantai. Berusaha kembali hidup. Di dalamnya, ada bagian-bagian kecil yang ternyata luput.
Bayangkan saja, berkebun dan sakit menjadi indah dibaca. Sederhana, bukan ? Bahwa ternyata kita tidak harus membeli barang mahal untuk bahagia. Bahkan menurut ia justru menyadari barang-barangnya terlalu banyak. Ya, kita terlalu impulsif dalam menjalani hidup.
Di sekitar saya, banyak orang-orang yang bermasalah menjalai hidupnya termasuk saya sendiri. Mereka lupa bahwa apa yang mereka miliki sebenarnya jauh lebih baik daripada orang lain. Penderitaan bukan sesuatu yang membanggakan untuk dibandingkan. Di tempat saya , siswa-siswi SD bersekolah tanpa sepatu dan buku cetak. Tapi mereka pintar dan bahagia. Santai saja.
Juga ada yang merasa tak puas, tapi ia berani ambil keputusan untuk keluar dari ketidakpuasan lalu mencari jalan lain yang (mungkin) kelak membuat ia puas. Yang membuat saya salut adalah orang-orang yang menjalani hidup apa adanya. Sedikit keluhan. Lalu bertanya pada diri sendiri ‘kenapa tidak?’
Penyembuhan dari masalah itu adalah menarik napas. Menemukan kembali apa yang kita tuju dalam hidup masing-masing dari kita. Ia memberikan saran tanpa kesan menggurui dalam buku ini. Saran-sarannya sederhana. Leyeh-leyeh saja, pasti kamu akan senang. Dekatkan saja dirimu dengan alam, kamu akan kembali semangat. Setelah kembali hidup, tinjau kembali sasaran hidupmu dan semangati dirimu sendiri. Mudah bukan ?
Sekian resensi dari saya, semoga bermanfaat. Terima kasih.
Penulis : Desi Anwar
Buku ini memberikan pelajaran bahwa kita ‘Sebagai manusia, kita pandai membuat hidup menjadi rumit’. Iya, benar sekali ! Saya ingin lompat ketika membacanya. Menohok, sekali rasanya.
Setiap bagian dari buku ini bersifat mengingatkan bahwa kita butuh berpijak, menarik nafas, duduk di kafe di pinggir jalan, lalu menjadi pengamat. Belajar. Bersantai. Berusaha kembali hidup. Di dalamnya, ada bagian-bagian kecil yang ternyata luput.
Bayangkan saja, berkebun dan sakit menjadi indah dibaca. Sederhana, bukan ? Bahwa ternyata kita tidak harus membeli barang mahal untuk bahagia. Bahkan menurut ia justru menyadari barang-barangnya terlalu banyak. Ya, kita terlalu impulsif dalam menjalani hidup.
Di sekitar saya, banyak orang-orang yang bermasalah menjalai hidupnya termasuk saya sendiri. Mereka lupa bahwa apa yang mereka miliki sebenarnya jauh lebih baik daripada orang lain. Penderitaan bukan sesuatu yang membanggakan untuk dibandingkan. Di tempat saya , siswa-siswi SD bersekolah tanpa sepatu dan buku cetak. Tapi mereka pintar dan bahagia. Santai saja.
Juga ada yang merasa tak puas, tapi ia berani ambil keputusan untuk keluar dari ketidakpuasan lalu mencari jalan lain yang (mungkin) kelak membuat ia puas. Yang membuat saya salut adalah orang-orang yang menjalani hidup apa adanya. Sedikit keluhan. Lalu bertanya pada diri sendiri ‘kenapa tidak?’
Penyembuhan dari masalah itu adalah menarik napas. Menemukan kembali apa yang kita tuju dalam hidup masing-masing dari kita. Ia memberikan saran tanpa kesan menggurui dalam buku ini. Saran-sarannya sederhana. Leyeh-leyeh saja, pasti kamu akan senang. Dekatkan saja dirimu dengan alam, kamu akan kembali semangat. Setelah kembali hidup, tinjau kembali sasaran hidupmu dan semangati dirimu sendiri. Mudah bukan ?
Sekian resensi dari saya, semoga bermanfaat. Terima kasih.